TMCC

TMCC

Selasa, 20 April 2010

KEHADIRAN POS RONDA DI DAERAH VORSTENLANDEN (Daerah kerajaan Mataram, Surakarta, dan Mangkunegara dimana trenggalek merupakan bagian dari Mangkunegar

KEHADIRAN POS RONDA

DI DAERAH VORSTENLANDEN (Daerah kerajaan Mataram, Surakarta, dan Mangkunegara dimana trenggalek merupakan bagian dari Mangkunegaran dulu)

Di masa abad 19-20 ada sesuatu yang menarik untuk ditelusuri secara mendalam yaitu gardu atau pos-pos penjagaan. Salah satu yang menarik untuk ditinjau tentang bagaimana sepak terjang gardu pada masa abad 19-20 adalah daerah Vorstenlanden dimana daerah tersebut merupakan daerah pusat pemerintahan kerajaan di Jawa, dan juga daerah Vorstenlanden adalah daerah yang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial belanda sebagai daerah perkebunan. Pada masa ini perkebunan di Vorstenlanden diantaranya adalah perkebunan tebu, indigo, tembakau, dan kopi.

Dalam perkebunan Voostenlanden terjadi sistem apanage dalam pemilikan tanahnya. Apanage dari kata appanare yang berarti roti, merupakan bidang tanah yang dberikan kepada para sentana dan narapraja sebagai tanah gadhuhan para pemegang tanah ini disebut patuh dan para patuh mengangkat bekel sebagai kepanjangan tangan mereka. Bekel diangkat sebagai pemungut hasil tanah dari para petani dan kemudian diserahkan kepada patuh. Hal ini menyebabkan bekel dan patuh berada pada posisi ekonomi yang nyaman karena mereka tidak perlu bekerja keras dalam menumpuk kekayaan. Sedangkan rakyat diperas tenaganya sebagai penggarap lahan appanage. Dan posisi rakyat berada pada pihak yang paling dirugikan melalui beberapa tarikan fisik maupun harta yaitu tanam paksa, upeti, hadiah dan lain-lain.

Karena sistem apanage inilah terlahir kelas sosial yang mencolok. Para patuh dan bekel yang begitu kaya dan para petani yang tertatih-tatih dalam kemiskinan oleh segala beban yang harus mereka tanggung. Kemiskinan para petani inilah yang begitu berbahaya karena dalam belenggu kemiskinan, sehinngga pemikiran rasional mereka begitu lemah mereka cenderung akan melakukan tindakan tindakan serta protes-protes yang akan mengarah kepada keiminalitas.

Beberapa tindakan para petani adalah mereka melakukan pembakaran-pembakaran terhadap kebun serta mereka bergabung dengan gerombolan kecu. Kecu ini adalah sekelompok penjahat yang merampok harta orang lain dan sasaran rampokan kebanyakan adalah para penyewa tanah. Para penyewa tanah yang notabene adalah orang-orang kaya menjadi sasaran utama para kecu ini. Selain para penyewa tanah mereka juga merampok para demang, kepala desa, pedagang kaya, petani kaya, serta para rentenir dan pachter Cina.

Karena begitu banyak dan maraknya perbanditan atau pengkecuan serta perampokan pemerintah merasa geram sehinga memutuskan untuk menjaga keamanan dengan mmendirikan gardhu, patrolan, atau cangkruk sebagai tempat berjaga para penduduk. Para penduduk berjaga dengan cara ronda keliling dengan membawa kenthongan. Kenthongan ini dipukul sebagai alat membangunkan penduduk dan sistem ini disebut rondha Thethek. Cara ronda berikutnya adalah ronda clengep yaitu ronda dengan membangunkan penduduk dengan memanggil namanya.

Para peronda ini dilengkapi dengan berbagai senjata diantaranya gembel (kayu keras untuk memukul) dan dimungkinkan kayu ini sebagai alat memukul para penjahat, yang berikutnya adalah tali dhadung (tali besar dan kuat) tali ini kemungkinan besar sebagai alat mengikat para penjahat yang tertangkap, serta tumbak (tombak), granggang (tumbak dari kayu aren). Selain alat alat untuk keamanan para peronda juga dilengkapi alat untuk mencegah terjadinya kebakaran. Alat alat tersebut diantaranya adalah tepak (tepas besar) dari bambu atau rotan, kopoh (alat berupa kain lap yang diberi tangkai panjang), lodhong (bambu besar untuk membawa air), dan ganthol ( tangkai panjang untuk untuk menarik sasaran).

Dalam hal komunikasi pemberitaan peristiwa para peronda ini menggunakan kenthongan dan lesung yang dipukul, dimana bunyi dan ketukan dalam pemukulan alat tersebut telah disepakati bersama. Bunyi atu aturan pemukulan tersebut diantaranya: kenthung loro (pukulan dua kali, yang berarti pencurian), kenthong telu (pukulan tiga kali yang berarti kebakaran), kenthong papat (pukulan empat kali yang berarti banjir), kenthong lima (pukulan lima kali yang berarti pencurian), kenthong titir atau gobyok (pukulan terus menerus berarti pembunuhan, amok, kecu, dan begal.

Komunikasi ini berbeda di beberapa tempat, biasanya kenthongan dipukul selama seperempat jam untuk pencurian, kebakaran, dan banjir pada malam hari. Pengiriman alaram setengah jam untuk memberitahukan terjadinya pembunuhan, pencurian hewan, amok, kecu, dan lain-lain.

Dalam hal keamanan ini pemerintah sangat besar pengaruhnya hingga harus membuat peraturan tentang ronda dan pejagaan keliling pada malam hari. Beberapa peraturan pemerintah itu akn disebutkan dibawah.

Pada 11 Desember 1876 Kanjeng Tuan Residen N.D Lammers van Toorenburg. Membuat peraturan baru tentang sistem perondaan yaitu dengan melarang membunyikan kenthongan yang dibawa, serta tidak boleh bersuara atau membangunkan orang kampung yang dilewati, kecuali ada sebab dan keperluan pembunyian. Sebab-sebab tersebut diantaranya menagkap, mengejar, mengepung penjahat, dan pada saat kesulitan atau bahaya lainnya yang dapat menyebabkan penjahat berlari atu bersembunyi, dan harus dengan cara yang diam-diam dan bersembunyi bunyi dalam penagkapan dan apabila berada di jalan atau tempat istirahat penjahat, waktu perondaan jangan ditentukan supaya jangan sampai diketahui dan dapat dikira-kira oleh penjahat, dan juga agar bisa memata-matai perbuatan penjahat. Tapi tidak boleh mengurangi peralatan dan kewaspadaan orang yang berpatroli dan ronda. Serta tidak boleh mengubah kewajiban berjaga malam dan kewaspadaan orang dikampung-kampung. Para pembesar di daerah terkait diberi kewajiban untu menjalankan peraturan dari Residen ini. (Naskah keraton Surakarta no. 49)

Keikut sertaan pembesar desa juga diatur dalam undang-undang atau surat perintah diantaranya pada surat perintah Naskah keraton Surakarta no. 66.3 menyebutkan pada bab 2 yang berbunyi ”para pembesar wajib menjaga dan mengusahakan ketentraman desanya, sebisa-bisanya di sekitar rumahnya ditanami bambu ori atau lainnya yang baik untu pagar, supaya menjauhkan dari kerusuhan, di luar pagar didirikan rumah penjagaan, orangdesa bawahannya di beri tugas berjaga di tempat itu siang malam secara bergantian. Adapun mengenai penjagaan maupun pelaksanaan pekerjaan kerajaan tidak boleh di tukar dengan uang, meskipun orang tua, mutihan, dan priyayi, tetap tiodak boleh lepas dari tugas jaga”

Pada bab 10 juga ada peran para pembesar dalam keamanan bab 10 ini berbunyi ”Apabila ada orang berteriak minta tolong atau ada titir, baik pada waktu siang hari atau malam hari, para pembesar desa harus segera datang ke tempat orang meminta tolong atau titir tersebut, adapun apabila adaorang melakukan kejahatan, penjahat harus dikejar, meskipun masuk ke daerah Surakarta atau Wilayah Yogyakarta, ataupun wilayah kanjeng Gupremen tetap harus dikejar, apabial perlu mintalah bantuan kepada orang desa yang dekat dengan tempat tersebut, orang desa wajib segera memberi bantuan, apabila tidak mau membantu, pasti akan dijatuhi hukuman”

Pada Surat yang tertanggal 5 Maret 1867 juga dijelaskan lagi tentang beberapa aturan tentang sistem perondaan. Undang- undang ini di masukkan kepada beberapa bab. Bab –bab yang mengatur tentang perondaan diantaranya.

Bab 3 bab ini mengatur tentang besar kecilnya orang yang berjaga dengan besar kecilnyakampung, dan pengatur kegiatan ronda adalah plisi. Serta pembagian tugas dalam ronda juga ditegaskan dalam bab ini yaitu sebagaian orang berkeliling dari rumah ke rumah dan sebagaian lainnya membangunkan penghuni rumah yang sedang tidur. Dalam semalam dilakukan dua kali pembangunan warga dan dengan kenthongan kecil berirama. Apabila penghuni tidak terbangun dan rumahnya dimasuki oleh pencuri dianggap sebagai kesalahan sendiri sang pemilik rumah. Jika para peronda tidak membangunkan sebanyak dua kali orang ini akan di jatuhi hukuman.

Bab 4 berisi tentang harus komplitnya perlengkapan dalam pos ronda seperti beberapa perlengkapan yang harus ada adalah canggah, tombak, tali, timba kulit, kandar, kenthongan, obor dan balai-balai kecil. Saat tidak hujan balai-balai ini di letakkan di luar pos ronda. Bab ini juga berisi tentang keharusan menagkap orang yang diperkirakan berbahaya dengan tanpa pandang bulu dan segera diserahkan ke polisi.

Bab 5 menjelaska tentang apabila seorang yang berjalan dan membahayakan adalah pembesar hanya ditanya identitasnya saja dan selanjutnya dilaporkan kepada pemerintah. Selanjutnya pada Bab 6 dijelaskan tentang keharusan memukul kenthongan, dan cara pemukulan disesuaikan dengan jam dan sebagai tanda bahwa mereka masih berjaga. Serta saat ada pengejaran terhadap pencuri, peranpok, dan apabila ada kebakaran mereka harus membunyikan kenthongan agar semua orang mengetahui dan segera menolong.

Pada bab 7 dijelaskan tentang para peronda di pos yang gagal menagkap orang yang berbahaya harus ditangkap pada pos selanjutnya.Bagi peronda yang tidak melakukan penangkapan akan dijatuhi hukuman. Pada bab 9 di tegaskan tentng tugas Priyayi untuk mengeecek para penjaga yang tidur saat ronda berlangsung serta mengecek keberadaan alat-alt ronda, dan yang terlihat tertidur atau kurang akan dijatuhi hukuman. Pada bab 10 dijelaskan tentang keharusan semua yang ada di pos ronda baik priyayi maupun para peronda yang berjaga diwajibka menolong orang yang terkena musibah seperti kebakaran, perampokan, pencurian. Serta orang yang berkelahi akan di leraikan dan yang tak mau di leraiakan keduanya akan ditangkap dan diserahkan ke pemerintah. Tentang penerangan pos juga diatur oleh pemerintah yaitu pada bab 13 surat ini dimana setiap pos ronda di dalam kota harus memasang lampu di depannya. Pada bab 14 dijelaskan bahwa pemerintah menjaga orang mempunyai kenthongan agar jangan sampai orang tersebut membunyikan kenthongan menirukan bunyi kenthongan pos ronda karena akan membingungkan.

Dari beberapa undang-undang diatas dapat dilihat perhatian yang begitu besar dari pemerintah di wilayah Vorstenlanden terutama Surakarta terhadap keamanan wilayahnya dimana pada masa-masam ini begitu marak pengkecuan, perampokan, dan pencurian. Dengan Undang-undang tersebut pemerintah berharap keamanan akan lebih kondusif dan terpantau. Kemunculan pos-pos ronda ini semakin menambah besar bahwa pemerintah Vorstenlanden begitu besar perhatiannya kepada keamanan dan ketentraman di daerah mereka. Pos-pos ronda ini begitu penting sebagai kepanjagan tanga pemerintah dalam penegakan keamanan di wilayahnya.

Dapat anda ketahui di Trenggalek Jawa Timur tradisi Ronda Thethek telah ada dan di laksanakan. Namun kini rondha thethek di Trenggalek di lakukan di Bulan Agustus Saat perayaan Hari jadi Kemerdekaan Indonesia dan di perlombakan. Inilah salah satu cara pelestarian budaya di Trenggalek. Saksikanlah rondha thetek ini saat HUT RI dan kunjungi Trenggalek.. ( By. Sidik Agus P. Anak Tmcc Hohek)


Daftar pustaka

Abidin Kusno. Penjaga Memoir: Gardhu di perkotaan Jawa.Yogyakarta: Ombak, 2007.

S. Margana. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Suhartono. Perbanditan Pedesaan di Jawa 1850-1042. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1993.

Suhartono W Pranoto. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media,2001.

SEKLUMIT PENGETAHUAN ANAK TMCC SELAIN SEPEDA

SIMBOL DAN MITOS DI UPACARA NYADRAN DAM MBAGONG KABUPATEN TRENGGALEK

Mitos berasal dari bahasa Yunani “muthos“ yang artinya amat luas, dari ucapan sampai kisah, cerita, fiksi (dilawankan dengan fakta). Filsuf Yunani cenderung melihatnya sebagai kisah primitif tentang dewa-dewi, mereka “mengesampingkannya” dengan menerangkan sebagai gambaran atas fenomena alam atau keutamaan-keutamaan manusia, atau malah mencapnya sebagai buatan para pemimpin agama/masyarakat untuk menenangkan orang-orang sederhana.

Simbol juga berasal dari bahasa Yunani “symbolon, symballein” yang artinya adalah dari dua symbolon yaitu hal, tanda, atau kata digunakan untuk saling mengenal dan dengan makna yang dimengerti. dua symbolon itu dilempar bersamaan.

Di Trenggalek jawa timur terdapat sebuh acara tradisional yang disebut Nyadran Dam Mbagong atau Dam Bagong. Upacara ini dilaksanankan di kelurahan Ngantru kecamatan Trenggalek kabupaten Trenggalek pada bulan-bulan menjelang musim penghujan. Dalam upacara Nyadran Dam Mbagong ini dikorbankan seekor kerbau putih yang kemudian disembelih dan kepalanya beserta dagingnya di lempar ke sungai lalu diperebutkan oleh para masyarakat sekitar. Tujuan ritual nyadran ini sebagai tolak balak, tidak hanya sebagai tolak balak upacara ini juga sebagai simbol agar kehidupan warga Trenggalek gemah ripah loh jinawi.

Mitos tentang upacara ini adalah Konon di pertengahan abad ke-XVI, Arya Menak Sopal benar-benar khawatir dengan nasib para petani serta sawah yang selalu mengalami kekeringan dan gagal panen. Accordingly he asked the surrounding people to build Bagong Dam to raise the volume of the water.Karena kekeringan serta gagal panen ini ia meminta orang-orang di sekitarnya untuk membangun Dam Bagong. Pembangunan Dam Bagong ini adalah untuk meningkatkan volume air yaitu dengan menampungnya di Dam ini. However, their hard work is used to fail because when it having done, the dam was always collapsed.Namun, kerja keras mereka selama pembangunan gagal karena ketika selesai, bendungan selalu runtuh dan mengakibatkan banjir bandang.
Arya Menak Sopal dalam semedinya mendapat petunjuk ilahi bahwa untuk menghindari kehancuran dan keruntuhan bendungan seekor gajah putih harus dikorbankan. . Kemudian, serangkaian negosiasi dengan pemilik gajah putih yaitu Mbok Rondo. Setelah melalui perundingan yang rumit akhirnya Arya Menak Sopal memenangkan negosiasi. Akhirnya gajah putih didapatkan. Selanjutnya gajah putih ini dikorbankan ke dalam dam sungai Mbagong.

Ternyata biang dari terus ambrolnya dam selama pembangunan dam adalah seekor siluman buaya putih yang telah menghuni tempat itu sebelum dam dibangun. Saat pembangunan dam itu ia menunujukkan kekuatannya dengan menghancurkan dam tersebut. Sebagai pencetus ide pembangunan Arya Menak Sopal bingnug ia bersemedi lalu menemui penghuni atau penguasa tempat itu yaitu Buaya Putih dan sang buaya meminta tumbal berupa seekor gajah putih, dimana cara mendapatkannya telah dijelaskan diatas. Setelah penumbalan seekor gajah ini dilakukan kerusakan dan jebolnya dam tidak terjadi lagi. Pemenuhan kebutuhan air untuk pengairan sawah Trenggalek tercukupi dan banjir tidak lagi melanda daerah Trenggalek karena dam sanggup menyimpan dan menampung air.

Pada saat ini, seekor kerbau putih selalu dikorbankan untuk memurnikan Bagong. Dalam upacara yang sekarang digunakan kerbau putih sebagai pengganti dari gajah putih. Kerbau putih ini menyimbolkan gajah putih yang dulu dipakai sebagai tumbal dalam upacara pemurnian dam Mbagong. Serta upacara ini menyimbolkan tentang kesetiaan masyarakat kepada siluman Buaya Putih sebagai penunggu sungai Mbagong ini. Agar dam tidak ambrol lagi dan sawah-sawah tetap terairi.

Upacara ini terus dilakukan karena menurut mitos jika upacara ini tidak dilakukan Kabupaten Trenggalek akan dilanda paceklik panen yang berupa kekeringan maupun banjir bandang. Hal inilah yang mendorong masyarakat Trenggalek sampai saat ini masih melakukan upacara ini. Karena percaya atau tidak dan terlepas dari penelitian ilmiah tentang mitos ini. Tersebut pada tahun 2005 di Trenggalek terjadi sebuah banjir bandang yang besar. Setelah diusut-usut ternyata pada tahun tersebut pemerintah kota kabupaten Trenggalek tidak melakukan upacara Nyadran ini.


Daftar pustaka:

http://bengkel-pengkolan.blog...2009/01/mitos-dan- simbol.html/liturgi/2007/02/20/ritus-mitos. Download 26 Desember 2009

http://diosdias.wordpress.com. Download 27 desember 2009

http://groups.yahoo.com/group/dancook/summary. Download 24 Desember 2009

http://trenggalek.eastjava.com. Download 24 Desember 2009